Saya, 23 tahun. Iya, saya sudah 23 tahun. Terduduk di ruang tv rumah keluarga saya sambil sesekali menggaruk-garuk kaki yang gatal karena digigit nyamuk. Sudah sekitar 5 bulan saya tidak menulis di blog ini. You know what, saya menyadari ada yang kurang karenanya. Yah, jadi hari ini saya memutuskan untuk sedikit mengurai kata-kata dan menuangkannya di laman pribadi saya ini. Bukan apa-apa, saya cuma ingin menjaga agar otak saya tidak tumpul.
Oke, jadi pertanyaannya, ngapain aja selama 5 bulan itu? Jawabannya adalah, banyak. DAN yang paling penting adalah saya baru menyadari bahwa saya telah melangkah ke arah yang lebih dewasa, atau matang, atau yang dikata psikolog-psikolog mature. Kenapa saya bilang saya memasuki fase kedewasaan atau maturity? Ya, dulu waktu kita masih kecil pasti kan, pengen cepat besar, bisa kerja di kantoran, pakai baju bagus, wangi, boleh pakai make up sesuka hati, dan terlihat cantik. Kalau dulu pakai lipstik atau parfum (atau cologne?) harus malu dan sembunyi-sembunyi karena takut dikatai genit atau centil, maka hari ini, saya mendeklarasikan bahwa saya telah move on dari fase tersebut. Tiba-tiba saya telah sampai di masa yang saya impikan saat masih anak-anak.
Banyak yang berubah dari diri saya. Setelah lulus, saya berupaya untuk memperoleh pekerjaan. Ya bukan apa-apa sih, cuma biar balik modal aja. Sekolah dan kuliah mahal 'kan Bro! Setelah ikut tes sana sini, alhamdulillah ada satu yang nyangkut menjadi rejeki saya. Diterima di sebuah bank yang berstatus 'plat merah', membuat saya harus mengikuti keseluruhan proses yang telah ditentukan oleh perusahaan. Setiap keputusan, pasti ada konsekuensinya. Iya, saya juga mengalaminya. Konsekuensi dari mengambil pekerjaan ini diantaranya, harus menunda menikah selama 2 tahun (haha!) dan harus mau ditempatkan di seluruh Indonesia. Itu yang saya garisbawahi, yang lainnya saya lupa karena tidak terlalu penting, setidaknya menurut saya.
Saat ini saya masih dalam proses belajar. Setelah di-training selama +sebulan di ibukota, saya diwajibkan untuk belajar dengan mempraktekan. OJT-lah katanya. Untung saja hanya di Madiun. Tapi Madiun bukanlah kota besar yang ramai seperti Jogja, tempat saya kuliah dulu. Harus kembali jauh dari rumah, harus kost lagi, harus mengeluarkan kocek yang lumayan setiap minggu untuk naik kereta karena saya belum kerasan di sini. Keluhan sampai makian sering keluar dari mulut bahkan tak jarang di linimasa. Rencana jahat pun seringkali singgah di kepala setiap tiba saatnya kembali ke tempat OJT saya itu.
"Seandainya saya Tuhan, saya mau buat akses jalan ke Madiun terisolasi dan saya tidak perlu kembali kesana."
"Jepang, silakan bom Madiun, just like you did to Pearl Harbour in the world war."
Begitu isi otak saya setiap hari Minggu pagi. Saya takut dengar banyak cerita dan desas-desus, saya takut tidak bisa pindah dari sana, atau mungkin saya memang belum siap.
6 orang yang ditempatkan di Madiun 4 perempuan dan 2 laki-laki. Ada yang biasa saja, menerima, karena sudah merasa siap ditempatkan dimana saja. Ada yang sambat seperti saya dan ada juga yang pasrah-pasrah saja. Menggoda satu sama lain, menakut-nakuti untuk sekedar menertawakan kekhawatiran temannya, tertawa bersama untuk meratapi nasib kami. Semua kami jalani bersama-sama.
Sekitar 3 minggu sudah saya di Kota ini. Mungkin sekitar 2 minggu lagi OJT selesai dan saya harus memasuki fase berikutnya. Mungkin saya akan tetap di Madiun atau bisa jadi dipindahkan ke Kota lain. Saya, yang berdiri di treadmill waktu ini, mau tidak mau harus belajar. Belajar itu 'kan katanya butuh proses. Saya memang berharap bisa pindah ke tempat domisili. Namun saya harus mulai belajar menyukai kota ini dulu, in case kalau setelah OJT nanti ternyata saya harus tetap di Madiun. Start from now, semoga saya bisa segera menemukan hal-hal yang menarik dari kota Madiun untuk mengisi blog ini. Ya, ini cara satu-satunya supaya saya bisa termotivasi untuk belajar menyukai kota ini. Karena (katanya) semua butuh belajar, ya sudah. Kita coba saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar